Amsal lain yang menggunakan CAHAYA (NUR), dan ia menggambarkan hubungan antara “syariat” dan “akal” adalah ada di (QS An Nur [24]: 35), “Allah [Pemberi] cahaya [kepada] langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti lubang yang tak tembus (misykat), yang di dalamnya ada pelita besar.”
“Pelita itu di dalam kaca [dan] kaca itu seakan-akan bintang [yang bercahaya] seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, [yaitu] pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak di barat, yang minyaknya [saja] hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya.”
Artinya, cahaya syariat berada di atas cahaya akal; akal hanya akan bersinar dengan adanya cahaya syariat atau dalam relasi “akal (syariat dari dalam) dan syariat (akal dari luar).” Keduanya saling (menyatu) menguatkan. Itulah mengapa Allah menyebut orang kafir sebagai orang yang tidak berakal, “Mereka tuli, bisu, dan buta sehingga mereka tidak berpikir.”1
Sebaliknya, karena akal adalah syariat dari dalam (kemudian disebut DIN), Allah berfirman, “… fitrah Allah yang menurut fitrah itu Dia telah menciptakan manusia. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”2 Atau dikatakan, karena (cahaya akal dan cahaya syariat [agama] itu bersatu, itulah Allah berfirman, “cahaya di atas cahaya.”
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” atau Dia (Allah) menjadikan keduanya menjadi satu cahaya (yang mana, jika akal hilang, syariat akan lemah. Sebaliknya, jika syariat hilang, akal akan melemah).
Ketahuilah bahwa akal hanya mampu menyerap pengetahuan yang universal, bukan pengetahuan yang teperinci. Misalnya, akal mengetahui kebaikan dalam keimanan kepada al-Haqq, berkata benar, saling memberi, bersikap adil, menjaga kesucian diri, dan sebagainya, tanpa mengetahuinya secara teperinci.
Sedangkan syariat, sampai pada pengetahuan yang universal sekaligus yang parsial tentang sesuatu, bahkan menjelaskan apa yang harus diyakini dalam sesuatu itu. Misalnya, tentang larangan mengonsumsi daging babi, darah, dan arak; tentang kewajiban berpuasa pada waktu tertentu dan lain-lain. Semua ketentuan itu hanya bisa diketahui melalui syariat.
Jadi, syariat meliputi seperangkat aturan (perbuatan yang benar dan lurus), yang mengarahkan manusia menuju kebaikan di dunia dan akhirat. Orang yang meninggalkan syariat, berarti telah tersesat dari jalan yang benar, karena ia tidak dapat mengetahui perincian semua hal itu tanpa syariat. “… dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”3
Selain itu, Allah juga berfirman, “Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Alquran itu [diturunkan], tentu mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat-Mu sebelum kami menjadi hina dan rendah?'”4
NOTES:
1QS. Asy-Syams [91] : 9,10. 2Al-Isra [17]: 15; 3Thaha [20]: 134; 4Al-Baqarah [2]: 171; 5Al-Rum [30]: 30.
─
“Keutamaan seorang alim atas ahli ibadah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah (hina) di antara kalian. Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya dan para penghuni langit dan bumi (termasuk semut yang berada di lobangnya dan ikan-ikan) benar-benar bershalawat atas orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.”6
6HR Tirmidzi
─
Fi
Musafir Mafakir
Mozila, (-8° 27′ 36.22″ S, 118° 43′ 36.01″ E); Wednesday, April 3, 2024 ~ Ramadhan 1445, 25 H; 04:49:37 PM
#ramadhan
#amalibadah #meraihsurga